POLA KOMUNIKASI
DAKWAH DALAM PEMBINAAN
AKHLAK REMAJA
Dalam
landasan teoritis ini,
penulis menghimpun beberapa
referensi yang relevan
dengan judul penelitian,
yang dimaksudkan untuk
memperkaya wawasan penulis
maupun pembaca.
A. Pola
Komunikasi Dakwah
Pola Komunikasi
dakwah memiliki objek
yang sama dengan
komunikasi pada umumnya.
Akan tetapi, jika
pembahasan dititik beratkan
pada aspek dakwah,
objek komunikasi dakwah
sama dengan objek
yang menjadi pokok
pembicaraan dalam ilmu dakwah.
Pola Komunikasi
dan pola komunikasi
dakwah sepintas memang
tampak sama, atau
berhimpitan antara satu
sama lain. Namun,
dalam aktivitasnya dilihat
dari konteks ilmu,
kedua istilah itu
berbeda. Pola komunikasi
dan pola komunikasi
dakwah merupakan suatu
disiplin ilmu tersendiri.
Ilmu komunikasi dan
ilmu komunikasi dakwah,
keduanya memiliki objek
masing-masing, baik objek
formal maupun material.
1.
Pengertian Komunikasi
Secara
etimologis (lughawy), komunikasi
(communication) berasal dari
Bahasa latin, yaitu communicare, communis,
dan communico yang
masing-masing mempunyai makna
yang berbeda namun
dalam konteks yang
sama. Communicare artinya
to make common - membuat kesamaan
pengertian, persamaan persepsi.
kata latin communis yang
berarti sama. Sama
disini adalah dalam
pengertian sama makna.
Dan kata latin communico yang
artinya membagi. Maksudnya
membagi gagasan, ide,
atau pikiran.[1]
Dalam
KBBI (kamus besar
bahasa Indonesia) mengartikan komunikasi
sebagai ”pengiriman dan
penerimaan pesan atau
berita antara dua
orang atau lebih
sehingga pesan yang
dimaksud dapat diahami”.
Adapun secara sederhana
komunikasi dapat didefinisikan
sebagai proses penyampaian
informasi atau pesan
oleh komunikator kepada
komunikan melalui sarana
tertentu dengan tujuan
tertentu.[2]
adapun
pengertian komunikasi menurut
para ahli memberikan
beberapa batasan-batasan antara
lain sebagai berikut:
Pertama
menurut Everett M.
Rogers: komunikasi adalah
proses dimana suatu
ide dialihkan dari
sumber kepada suatu
penerima atau lebih,
dengan maksud untuk
mengubah tingkah laku
mereka.[3] Kedua,
Bernarld Berelson dan
Gery A Steiner:
komunikasi adalah transmisi
informasi gagasan, emosi,
keterampilan dan sebagainya
dengan menggunakan simbol-simbol, kata-kata,
gambar, serta grafik,
dan sebagainya. Ketiga,
Carl L. Havland:
komunikasi adalah proses
yang memungkinkan seseorang
(komunikan) menyampaikan ransangan
(biasanya berupa lambang-lambang verbal)
untuk mengubah perilaku
orang lain (communicate). Keempat,
Gerald R. Miller:
komunikasi terjadi ketika
suatu sumber menyampaikan
suatu pesan kepada
penerima dengan niat
yang disadari untuk
mempengaruhi perilaku penerima.[4]
Pengertian
komunikasi paling populer
datang dari Harold
Lasswell, Komunikasi pada
dasarnya merupakan suatu
proses yang menjelaskan
siapa (who), mengatakan
apa (says what),
dengan saluran apa (in which
channel), kepada siapa
(to whom) dan
dengan akibat atau
hasil apa (with
what effect).[5]
Teori
ini menerangkan proses
komunikasi dengan analisis
sebagai berikut:
1. Who? (siapa/sumber)
komunikator
adalah pelaku utama
atau pihak yang
mempunyai kebutuhan untuk
berkomuikasi atau yang
memulai suatu komunikasi,
bisa seorang individu,
kelompok, organisasi, maupun
suatu negara sebagai
komunikator.
2. Says what? (pesan)
Apa yang
akan disampaikan atau
dikomunikasikan kepada penerima
(komunikan), dari sumber (komunikator)
atau isi informasi.
Merupakan seperangkat symbol
verbal atau non verbal
yang mewakili perasaan,
nilai, gagasan. Ada 3 komponen
pesan yaitu makna, symbol untuk
menyampaikan makna, dan
bentuk atau organisasi pesan.
3. In Which
Channel? (saluran/media)
Wahana atau
alat untuk menyampaikan
pesan dari komunikator
(sumber) kepada komunikan
(penerima) baik secara
langsung (tatap muka), maupun
tidak langsung (melalui
media cetak atau
elektronik dan lain-lain).
4. To Whom?
(untuk siapa/penerima)
Orang, kelompok,
organisasi, suatu negara
yang menerima pesan
dari sumber. Disebut
tujuan (destination), pendengar
(listener), khalayak (audience),
komunikan.
5. With What
Effect? (dampak/efek)
Dampak atau
efek yang terjadi
pada komunikan (penerima)
setelah menerima pesan
dari sumber, seperti
perubahan sikap, bertambahnya
pengetahuan, dan lain-lain.[6]
Dalam
pelaksanaannya, komunikasi dapat
dilakukan secara primer
(lansung) maupun secara
skunder (tidak lansung).
Kegiatan komunikasi pada
prinsipnya adalah aktivitas
pertukaran ide atau
gagasan secara sederhana,
dengan demikian kegiatan
komunikasi itu dapat
dipahami sebagai kegiatan
penyampaian pesan atau
ide, arti dari
satu pihak kepihak
lain dengan tujuan
untuk komunikasi tersebut
menghasilkan kesepakatan bersama
terhadap pesan atau
ide yang disampaikan.
Kedudukan
komunikasi dalam islam mendapat
tekanan yang cukup
kuat bagi manusia
sebagai anggota masyarakat
dan sebagai makhluk
tuhan. Dalam al-qur’an
terdapat banyak sekali
ayat yang menggambarkan
tentang proses komunikasi.
Salah satu diantaranya
dialog yang terjadi
pertama kali antara
Allah subhanahu wa
ta’ala, malaikat, dan
manusia. Dialog tersebut
sekali gus menggambarkan
sala satu potensi
manusia yang dianugrahkan Allah
SWT.[7]
Potensi tersebut dapat
dilihat dalam Firman
Allah SWT Q.S.
Al-Baqarah ayat 31-33:
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا
ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ
هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ
إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُٱلۡحَكِيمُ ٣٢ قَالَ
يَٰٓـَٔادَمُ أَنۢبِئۡهُم بِأَسۡمَآئِهِمۡۖ فَلَمَّآ أَنۢبَأَهُم
بِأَسۡمَآئِهِمۡ قَالَ أَلَمۡ أَقُل لَّكُمۡ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ غَيۡبَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ
وَٱلۡأَرۡضِ وَأَعۡلَمُ مَا تُبۡدُونَ وَمَا كُنتُمۡ تَكۡتُمُونَ ٣٣
Artinya:
Dan Dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!. Mereka menjawab: "Maha Suci
Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana". Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka
nama-nama benda ini". Maka setelah diberitahukannya kepada mereka
nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku-katakan kepadamu,
bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa
yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?. (Q.S. Al-Baqarah 2: 31-33)
Ayat
diatas, mengimformasikan bahwa
sesungguhnya manusia dianugrahkan
Allah SWT. Potensi
untuk mengetahui nama
atau fungsi dan
karakteristik benda-benda disekitarnya.
Salah satu keistimewaan
manusia adalah kemampuannya
mengekspresikan apa yang
terlintas dalam benaknya
serta kemampuannya menagkap
bahasa sehingga mengantarkan manusia
untuk mengetahui.[8]
2.
Pengertian Komunikasi
Dakwah
komunikasi
dakwah dalam definisinya
tidak jauh berbeda
dengan komunikasi secara umumnya, namun
komunikasi dakwah lebih
mengajak atau menyeru
dalam kebaikan. Dilihat
dari pengertian dakwah
itu sendiri secara
etimologi menurut para
ahli bahasa, dakwah
berakar kata da’a
- yad’u -
da’watan, artinya mengajak
atau menyeru.[9]
Warson
Munawwir, menyebutkan bahwa
dakwah artinya adalah
memanggil (to call), mengundang
(to invite), mengajak (to summon), menyeru
(to propose), mendorong
(to urge), dan
memohon (to pray).[10]
Secara
termonologi dakwah adalah
mengajak atau menyeru
manusia agar menempuh
kehidupan di jalan
Allah SWT, berdasarkan
firman Allah SWT
Q.S An-Nahl ayat
125:
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِٱلۡحَسَنَةِۖ
وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَن ضَلَّ
عَن سَبِيلِهِۦ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ ١٢٥
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. (Q.S. An-Nahl 16:125)
Setiap
perkataan, pemikiran, atau
perbuatan yang secara
eksplisit ataupun implisit
mengajak orang kearah
kebaikan (dalam perspektif
Islam), perbuatan baik,
amal saleh, atau
menuju kebenaran dalam
bingkai ajaran Islam,
dapat disebut dakwah.[11]
Adapun
menurut pandangan beberapa
pakar ilmuwan adalah
sebagai berikut:
a) Bakhial
khuali: ”dakwah adalah
suatu proses menghidupkan
peraturan-peraturan Islam dengan
maksud memindahkan umat
dari satu keadaan
kepada keadaan lain.”[12]
b) Syekh
Ali Mahfudz: dakwah adalah
mengajak manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan
mengikuti petunjuk, menyuruh
mereka berbuat baik
dan melarang mereka
dari perbuatan jelek
agar mereka mendapat
kebahagiaan di dunia
dan akhirat.[13]
c) Prof. Toha
Yahya Omar, M.A.: “mengajak
manusia dengan cara
bijaksana kepada jalan
yang benar sesuai
dengan perintah tuhan,
untuk keselamatan dan
kebahagiaan mereka di dunia dan
akhirat.”[14]
d) Prof.
H.M. Arifin, A.Ed:
“dakwah mengandung pengertian
sebagai suatu kegiatan
ajakan baik dalam
bentuk lisan, tulisan,
tingkah laku dan
sebagainya yang dilakukan
secara sadar dan
berencana dalam usaha
mempengaruhi orang lain
baik secara individual
maupun secara kelompok
agar timbul dalam
dirinya sesuatu pengertian,
kesadaran, sikap, penghayatan
serta pengamalan terhadap
ajaran agama sebagai
message yang disampaikan
kepadanya dengan tanpa
adanya unsur-unsur pemaksaan.”[15]
e) Ibnu
Taimiyah: Dakwah merupakan
suatu proses usaha
untuk mengajak agar
orang beriman kepada
Allah, percaya dan
mentaati apa yang
telah diberitakan oleh
rasul serta mengajak
agar dalam menyembah
kepada Allah seakan-akan melihatnya.[16]
Dari pengertian
dakwah oleh beberapa
pakar ilmuwan diatas
dapat didefinisikan bahwa
komunikasi dakwah adalah
proses penyampaian dan
informasi Islam untuk
memengaruhi komunikan (objek dakwah,
mad’u) agar mengimani,
mengilmui, mengamalkan, menyebarkan,
dan membela kebenaran
ajaran islam.
Komunikasi dakwah
sangat memperhatikan tatanan
komunikasinya sehingga lebih
lembut, komunikatif dan
dapat mengatasi berbagai
perbedaan kultur. Sekat-sekat
keagamaan menjadi cair
dan yang lebih
ditonjolkan adalah nuansa
kebeningan hati sehingga
dapat menemukan jati
diri dan nuansa
kebersamaannya.[17]
Dakwah adalah
sesuatu yang tidak
bisa dipisahkan dari komunikasi karena
dakwah menggunakan komunikasi
sebagai sarananya untuk
menyampaikan pesan-pesan dakwah.
Dalam penyampaian pesan-pesan
keagamaan menggunakan simbol-simbol
verbal dan nonverbal. Symbol-simbol
verbal merupakan ucapan
dan tulisan yang
lazim dimengerti, adapun
symbol-simbol dalam dunia
dakwah mengacu pada
gerak, raut wajah,
pakaian, tindakan, atau
perilaku, dan situasi
lingkungan, sesuatu yang
bermakna selain mekanisme
linguistik.[18]
3.
Unsur-unsur Komunikasi Dakwah
Dalam
perspektif komunikasi, aktivitas
dakwah adalah kegiatan
penyampaian ajaran agama,
dan pesan-pesan informasional
yang memerlukan kesamaan
unsur-unsur yang perlu
diperhatikan oleh para
pelaku komunikator dakwah.
Oleh karena itu
komunikasi dakwah dapat
berlansung bila terdapat
unsur (komponen) yang mendukung
proses komunikasi dakwah.
Dalam Unsur komunikasi
dakwah ada yang
bersifat inti dan
ada pula yang
bersifat pendukung. Apa
bila komponen dakwah
inti tidak ada,
komunikasi dakwah tidak
berjalan. Berbeda halnya
dengan unsur pendukung
pada komunikasi dakwah
apa bila unsur
pendukung komunikasi tidak
ada hanya akan
mengurangi efektivitas dakwah,
namun komunikasi dakwah
tetap berjalan.[19]
Adapun
yang disebut komponen
inti dalam komunikasi
dakwah yaitu komunikator
dakwah (Dai); komunikan
dakwah (mad’u); pesan
dakwah (materi dakwah);
metode komunikasi dakwah.
Sedangkan untuk mendukung
plaksanaan dakwah diperlukan
komponen yang lain, seperti
organisasi (institusi); ekonomi,
social, dan budaya;
serta iklim yang
menunjang, baik secara
local, regional, nasional,
maupun internasional.[20]
Komponen Inti komunikasi
dakwah.
a. Komunikator dakwah
(da’i)
Dalam
konteks komunikasi dakwah,
da’i adalah individu
yang menyampaikan
pesan-pesan keagamaan.[21] Secara
istilah, da’iadalah orang
Islam yang secara
syari’at mendapat beban
dakwah mengajak kepada
agama Allah. Maka
tidak diragukan lagi
bahwa definisi ini
mencangkup dari rasul,
ulama, penguasa setiap
muslim, baik laki-laik
maupun perempuan. berhasil
atau tidaknya suatu
dakwah Islam, sangat
bergantung pada pribadi
sang pembawa dakwah
(da’i) itu sendiri.
Oleh sebab itu seorang
da’i yang berkepribadian menarik,
sedikit banyak akan
mendukung keberhasilan
dakwah yang disampaikan.[22]
Dalam
kepribadian seorang da’i
baik bagi mereka
yang sedang dalam
proses pembentukan maupun
mereka yang telah
terjun kelapangan, tidaklah
dapat melepaskan dirinya
dari dua bekal
utama yaitu ilmu dan akhlak.
Kedua-duanya menjadi amunisi
bagi da’i dalam
aktivitasnya.
Dalam
akhlaknya seorang da’i
dituntut menjadi kepribadian
yang ihsan (baik)
dalam lingkungan masyarakat
maupun keluarga, dari
pergaulan maupun pekerjaannya.
Mampu mencerminkan sikap
dan prilaku yang
dapat menjadi panutan
sehingga menjadi figur
telandan yang dapat
dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan berbagai persoalan
hidup. Seseorang harus
memiliki kepribadian yang ihsan bisa
dilihat dalam ayat-ayat
Al-Qur’an salah satunya
Firman Allah Al-Maidah
ayat 8:
يَٰٓأَيُّهَاٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُونُواْ قَوَّٰمِينَ لِلَّهِ شُهَدَآءَ
بِٱلۡقِسۡطِۖ وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنََٔانُ قَوۡمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا
تَعۡدِلُواْۚ ٱعۡدِلُواْ هُوَ أَقۡرَبُ لِلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُواْٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ
خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ ٨
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah 5:8)
Dari ayat
diatas dapat mewakili
bahwa wajib bagi
para da’i agar berdakwah ke
jalan Allah azza
wa Jalla dengan
kesabaran, keteguhan, dan
dengan penuh hikmah.
Apabila obyek dakwah
(mad’u) memiliki sifat
kasar dan suka
menentang, maka hendaklah
dakwah kepadanya dengan
mau’izhah hasanah (nasehat
yang baik), dan
dengan ayat-ayat dan
hadits-hadits yang berupa
al-Wa’zh (nasehat), danat-targhib (motivasi).
Apabila mad’u itu memiliki
syubhat maka bantahlah
dirinya dengan cara
yang lebih baik
dan jangan bersikap
keras padanya, bersabarlah
padanya dan jangan
tergesa-gesa dan jangan
memperlakukannya dengan kasar.[23]
Adapun dalam
segi ilmu, seorang
da’i harus mengetahui
syari’at Allah SWT
dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan-Nya, sehingga
mampu berdakwah diatas
ilmu dan hujjah. Allah
telah menjelaskan dalam firmannya Q.S. Yusuf, ayat 108:
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ
عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠
مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ١٠٨
Artinya:
“Katakanlah:
Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik” (Q.S. Yusuf 12:108)
Makna bashirah
dalam ayat ini
ialah ilmu. Yang
dengan ilmu ini
seorang da’i mampu
mempertahankan apa yang
didakwahkannya dari segala
bentuk syubhat ataupun
kekacauan. Menegakan hujjah
terhadap para penentangnya, sehingga
kebenaran bisa diterima
dengan izin Allah
SWT. Orang tidak
memiliki ilmu, tidaklah
pantas untuk menjadi
seorang da’i, karena
akan lebih banyak
membuat kerusakan dibanding
kebaikan. Tanpa memiliki
ilmu maka runtuhlah
da’i itu dihadapan
kebatilan yang disebabkan
karena kejahilannya atas
apa yang didakwahkannya.
b. Komunikan dakwah
(Mad’u)
Komunikan dakwah (mad’u) merupakan
sasaran dakwah yang
tertuju pada masyarakat luas,
mulai diri pribadi,
keluarga, kelompok, baik
yang menganut Islam maupun tidak,
dengan kata lain
manusia keseluruhan. Sejalan
dengan firman Allah
SWT dalam Q.S.
Saba’ 28:
وَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ إِلَّا كَآفَّةٗ لِّلنَّاسِ بَشِيرٗا وَنَذِيرٗا
وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٢٨
Artinya:
“Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (Q.S. Saba’ 34:28)
Salah
satu makna hikmah
dalam menempatkan komunikasi
dakwah adalah menempatkan
manusia sesuai dengan
kadar yang telah
ditetapkan Allah. Disaat
terjun dimasyarakat, melakukan
kontak dengan seseorang
mad’u, da’i yang
baik harus mempelajari
terlebih dahulu data
riil tentang pribadi
yang bersangkutan.
Ada 2
potensi dalam diri mad’u
yang dapat dijadikan
acuan oleh komunikator
dakwah dalam menyampaikan
pesannya yang bisa
digunakan sebagai pendekatan
dalam komunikasi dakwah,
yaitu:
1) kemampuan berpikir
(rasio), mengarah kepada
sampai seberapa jauh
komunikann senang berpikir
mendalam. Dan
2) kemampuan merasa
(perasaan), mengarah kepada
apakah komunikan lebih
senang imbauan emosional
pesan-pesan yang mengembirakan
atau pesan yang
sedih.[24]
Sedangkan berdasarkan
sikapnya, mad’u dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa
bagian[25] yaitu:
1) Al-mala’ (penguasa)
adalah kaum eksekutif
masyarakat yang memiliki
pengaruh besar hal
demikian karena kemampuan
mereka untuk mengakomodasi
masa dan pengaruhnya
dalam membentuk opini-opini
public.
2) Jumhur An-nas
(mayoritas masyarakat)
adalah orang yang
paling tanggap menerima
seruan dan ajakan
dakwah. Jumhur An-nas ini
dapat ditinjau dari
dua perspektif historis
dan psikologisnya. Ditinjau
dari perspektif historis,
mayoritas manusia yang
merupakan kaum lemah
secara factual adalah
mereka yang paling
simpatik dan cepat
menerima seruan dakwah
para rasul. Adapun dari perspektif psikologis mayoritas
manusia yang merupakan kaum yang lemah adalah mereka yang selalu melawan
penindasan kaum penguasa. Dalam kondisi ini, mereka senantiasa mendambakan
tampilnya sosok yang berani bersama-sama memperjuangkan nasib mereka.
3) Al-munafikun (orang-orang
munafik) adalah orang-orang
yang menentang dakwah
namun tidak terlihat.
4) Pelaku maksiat
addalah mereka yang
secara latin masih
memiliki pijakan yang
kuat dalam agama.
Dilihat
dari penjelasan apa
yang ada di
mad’u, maka dalam
keadaan tetentu seorang
mad’u bisa mengubah
tingkah lakunya. Dalam
hal ini salah
satunya bisa dipengaruhi
dari kata-kata tertentu
yang mempunyai kekuatan
tertentu dalam mengubah
tingkah laku manusia.[26]
c. Pesan dakwah
(materi dakwah)
Pesan
komunikasi dakwah ialah
berupa nilai-nilai keagamaan
oleh komunikator disampaikan
kepada komunikan yang
bersumber dari ajaran
Islam, baik yang
diambil dari Al-qur’an maupun
Sunnah. Dalam al-Qur’an
ada 2 (dua)
jenis pesan:
1) Pesan yang
maknanya memanggil akal
atau dalam al-Qur’an
diistilahkan sebagai pendayagunaan
akal, seperti kalimat
afala ta’qilun (tidakkah
ngkau memikirkan). dimana
kecenderungannya memanfaatkan potensi
pancaindra, dan kemudian
diproses oleh akal (reason).
2) Pesan yang
maknanya menghimbau rasa
serta hati atau
dalam istilah al-Qur’an
disebut pendayagunaan rasa,
seperti kalimat afala
tasy’urun (tidakkah ngkau
merasakan). Rasa dan
rasio sebagai landasan
berpijak bagi perancang
pesan-pesan komunikator dakwah.[27]
Dalam
implementasinya, pesan-pesan
komunikasi dakwah akan
memberikan motivasi baik
yang bersifat rasional
maupun yang bersifat
emosional. Namun kekuatan
motivasi yang sebenarnya
dalam diri manusia
bukanlah pada rasio,
malainkan emosi. Karena
setiap komunikator dakwah
yang bermaksud mengubah
tatanan yang ada
atau membangun sebuah
tatanan tidak akan
bisa melangkah maju
tanpa membangkitkan emosi
komunikannya.[28]
Term Qaulan
sadida merupakan persyaratan
umum suatu pesan
dakwah untuk memilih
kata yang tepat
mengenai sasaran sesuai
dengan field of
experience (lingkungan pengalaman)
dan frame of
reference (kerangka pandangan)
komunikan telah dilansi
dalam beberapa bentuk
oleh al-Qur’an diantaranya:
1) Qaulan Baligha
(perkataan yang
membekas pada jiwa)
Ungkapan
kaulan baligha terdapat
pada surat an-Nisa
ayat 63 dengan
firmannya:
أُوْلَٰٓئِكَٱلَّذِينَ
يَعۡلَمُ ٱللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَعۡرِضۡ عَنۡهُمۡ وَعِظۡهُمۡ وَقُل
لَّهُمۡ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ قَوۡلَۢا بَلِيغٗا ٦٣
Artinya:
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah
mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari
mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan
yang berbekas pada jiwa mereka”(Q.S. an-Nisa 4: 63)
Yang dimaksud
ayat di atas
adalah perilaku orang
munafik, ketika diajak
untuk memahami hukum
Allah, mereka menghalangi
orang lain untuk
patuh. Kalau mereka
mendapat musibah atau
kecelakaan karena perbuatan
mereka sendiri, mereka
datang memohon perlindungan
atau bantuan. Karena
itu, Qaulan baligha
dapat diterjemahkan kedalam
komunikasi yang efektif.
Menurut kata asalnya
Baligha artinya sampai
atau fashih. Jadi
untuk orang munafik
tersebut diperlukan komunikasi
efektif yang bisa
menggugah jiwanya. Bahasa
yang dipakai adalah
Bahasa yang akan
mengesankan atau membekas
pada hatinya. Sebab
dihatinya banyak dusta,
khianat dan ingkar
janji. Kalau hatinya
tidak tersentuh sulit
mendudukannya.
Jalaludin Rahmat
memerincikan pengertian qaulan
baligha tersebut menjadi
dua, qaulan baligha
terjadi apa bila
da’I menyesuaikan pembicaraannya dengan
sifat-sifat khalayak yang dihadapinya
sesuai dengan frame
of refence and
field of experience.
Kedua, qaulan baligha
terjadi apa bila
komunikator menyentuh khalayaknya
pada hati dan
otaknya sekaligus.
2) Qaulan Layyinan
(Perkataan yang lembut)
Term Qaulan Layyinan
teerdapat dalam surah
Thaha ayat 43-44
secara harfiah berarti
komunikasi yang lemah lembut (layyin):
ٱذۡهَبَآ إِلَىٰ
فِرۡعَوۡنَ إِنَّهُۥ طَغَىٰ, فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا
لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ ٤٤
Artinya:
“Pergilah kamu
berdua kepada Fir´aun,
sesungguhnya dia telah
melampaui batas. Maka
berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata
yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat
atau takut"(Q.S. Thaha 20: 43-44)
Berkata
lembut tersebut adalah
perintah Allah kepada
Nabi Musa dan
Harun supaya menyampaikan
Tabsyier dan Inzar
kepada Fir’aun dengan
“qaulan layyina” karena
ia telah menjalani
kekuasaan melampaui batas,
Musa dan Harun
sedikit khawatir menemui
Fir’aun yang kejam.
Tetapi, Allah tau
dan memberi jaminan.
قَالَ لَا تَخَافَآۖ
إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسۡمَعُ وَأَرَىٰ ٤٦
Artinya:
"Janganlah
kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat" (Q.S. Thaha 20: 46)
3) Qaulan Ma’rufat
(perkataan yang
baik)
Qaulan ma’rufat
dapat diartikan
dengan ungkapan yang
pantas. Salah satu
pengertian ma’rufat secara
etimologis adalah al-khair
atau ihsan, yang
berarti baik-baik.[29] Jadi qaulan ma’rufat
mengandung pengertian perkataan
atau ungkapan yang
pantas dan baik,
dengan pembicaraan yang
bermanfaat, memberikan pengetahuan, mencerahkan
pemikiran, menunjukan pemecahan
terhadap kesulitan kepada
orang lemah, jika
kita tidak dapat
membantu secara material,
kita dapat membantu psikologis.[30] Allah
menggunakan frase ini
ketika berbicara tentang
kewajiban orang-orang kaya
atau orang kuat
terhadap orang-orang yang
miskin atau lemah.
Di dalam al-Qur’an
ungkapan qaulan ma’rufat
dapat ditemukan dalam
beberapa surah salah
satunya:
وَلَا
تُؤۡتُواْ ٱلسُّفَهَآءَ أَمۡوَٰلَكُمُ ٱلَّتِي جَعَلَ ٱللَّهُ لَكُمۡ قِيَٰمٗا وَٱرۡزُقُوهُمۡ
فِيهَا وَٱكۡسُوهُمۡ وَقُولُواْ لَهُمۡ قَوۡلٗا مَّعۡرُوفٗا ٥
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan
kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka
belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik”(QS. an-Anisa 4: 5)
Ayat
diatas qaulan ma’rufat
yang berkonotasi kepada
pembicaraan-pembicaraan yang pantas
bagi seorang yang
belum dewasa atau
belum cukup akalnya
atau orang dewasa
tapi tergolong bodoh.
Kedua orang ini
tentu tidak siap
untuk menerima perkataan
bukan ma’ruf karena
otaknya tidak cukup
siap menerima apa
yang disampaikan. Justrus
yang menonjol adalah
emosinya.
4)
Qaulan
Maisura (Perkataan yang
ringan)
Sebagai
Bahasa komunikasi, qaulan
maisura artinya perkataan
yang mudah diterima, dan
ringan, yang pantas,
yang tidak berliku-liku.
Dakwah dengan qaukan
maisura artinya pesan
yang disampaikan itu
sederhana, mudah dimengerti,
dan dapat dipahami
secara spontan tanpu
harus berpikir dua
kali. Pesan dakwah
model ini tidak
memerlakukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika.[31]
5) Qaulan Karima(Perkataan
yang mulia)
Dakwah
dengan qaulan karima
sasarannya adalah orang
yang telah lanjut
usia, pendekatan yang digunakan
adalah dengan perkataan
yang mulia, santun, penuh penghormatan dan
penghargaan tidak menggurui,
tidak perlu retorika
yang meledak-ledak.[32] Didalam
al-Qur’an term qaulan karima
terdapat pada surah
al-Isra’ ayat 23:
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ
إِحۡسَٰنًاۚ إِمَّا يَبۡلُغَنَّ عِندَكَ ٱلۡكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوۡ كِلَاهُمَا
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلٗا كَرِيمٗا
٢٣
Artinya:
“Dan
Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. al-Isra’ 17:
23)
Dalam
perspektif dakwah qaulan karima diperlakukan
jika dakwah itu
tertujukan kepada kelompok
orang yang sudah
masuk kategori usia
lanjut. Seorang da’i
dalam komunikasi dengan
lapisan mad’u yang
sudah masuk kategori
usia lanjut, haruslah
bersikap seperti orang
tuan sendiri, yakni
hormat dan tidak
berkata kasar kepada
mereka. Karena manusia
meskipun sudah mencapai
usia lanjut bisa
saja berbuat salah,
atau melakukan hal-hal
yang sesat menurut
ukuran agama.
d. Metode komunikasi
dakwah
Dari
segi bahasa metode berasal
dari dua perkataan yaitu “meta”
(melalui) dan “hodos”
(jalan, cara).[33] Sumber
yang lain menyebutkan
bahwa metode berasal
dari Bahasa Jerman
metbodica artinya ajaran
tentang metode. Dalam
Bahasa Yunani metode
berasal dari kata metbodos metbodos
artinya jalan yang
dalam Bahasa Arab
disebut thariq.[34]Dengan demikian
metode dapat diartikan
cara atau jalan
yang harus dilalui
untuk mencapai suatu
tujuan. Dan apa bila
diartikan secara bebas
metode adalah cara
yang telah diatur
dan melalui proses
pemikiran untuk mencapai
suatu maksud.
Oleh
karena itu metode
dalam komunikasi dakwah
adalah metode yang
merupakan tekni, jalan
yang digunakan komunikator
untuk menyampaikan pesan-pesannya terhadap
komunikannya. Pada setiap
komunikasi dakwah yang
dilakukan, komunikator mempertimbangkan secara
cermat kondisi dan
kemampuan komunikannya, misalnya
dalam hal kemampuan
berpikir, setiap setiap
jamaah ada yang
senang berpikir mendalam,
namun ada yang
berpikir senang berpikir
sedang, dan ada
juga yang tidak
senang berpikir mendalam.[35]
Faktor
Komunikan penting untuk
diketahui komunikator secara
saksama agar dapat
menyelami kondisi empirik
yang ada di
medan dakwah. pesan-pesan
disesuaikan dengan kapasitas
serta karakter komunikan,
dan komunikator dalam
menyampaikan pesan-pesannya harus
secara bijak kepada
setiap penerima dakwah
sesuai akidah, intelektualitas, kedudukan dan
kondisi mereka. Suatu
pesan yang jelas
memerlukan perincian, pesan
mana yang disenangi dan
cocok buat suatu
kelompok masyarakat sehingga
memperoleh sambutan, serta
pesan mana yang
kurang mengena dan
tidak disenangi.[36]
Komunikator
dakwah dapat menggunakan
3 (tiga) metode
komunikasi dakwah yaitu:
1) Al-Hikmah (bijaksana)
Sebagai metode
dakwah al-hikmah diartikan
bijaksana, akal budi
yang mulia, dada
yang lapang, hati
yang bersih, menarik
perhatian orang kepada
agama atau tuhan.
Al-hikmah juga berarti
pengetahuan yang dikembangkan
dengan tepat sehingga
menjadi sempurna yang
mencangkup kecakapan manajerial,
kecermatan, kejernihan, pikiran
dan ketajaman pikiran.
2) Al-Maw’idhah
al-Hasanah
(pelajaran yang
baik)Memberikan nasehat
kepada orang lain
dengan cara yang
baik, yaitu petunjuk-petunjuk ke
arah kebaikan dengan
Bahasa yang baik,
dapat diterima, berkenan
di hati, menyentuh perasaan,
lurus di pikiran, menghindari
sikap kasar dan
tidak mencari atau
menyebut kesalahan audiens
sehingga pihak objek
dakwah dengan rela
hati dan atas
kesadarannya dapat mengikuti
ajaran yang disampaikan
oleh pihak subjek
dakwah. Jadi, dakwah
bukan propaganda.
3) Al-jidal allati
hiya ahsan (perdebatan,
diskusi dengan cara
yang terbaik)
Al-jidal allati
hiya ahsan merupaka cara terakhir yang digunakan untuk
berdakwah manakala kedua cara terakhir yang digunakan untuk orang-orang yang
tarafberpikir cukup maju, dan kritis seperti ahli kitab yang memang telah
memiliki bekal keagamaan dari para utusan sebelumnya. Oleh karena itu, al-Qur’an juga memberikan
perhatian khusus kepada ahli kitab, yaitu melarang berdebat dengan mereka
kecuali dengan cara terbaik. Firman Allah
SWT:
وَلَا
تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ
ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ
Artinya:
“Dan janganlah kamu berdebat
denganAhli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan
orang-orang zalim di antara mereka"(Q.S. Al-Ankabut 29: 46)
Komponen
pendukung komunikasi dakwah
Komponen
pendukung komunikasi dakwah
adalah membantu mengefektifkan dalam proses
komunikasi dakwah. Adapun
komponen pendukung
komunikasi dakwah antara
lain:
a. Organisasi (Institusi)
Organisasi
dakwah diperlukan untuk menunjang agenda
dakwah. Lapisan masyarakat
yang luas dapat
dilayani secara serentak
ketika para pelaku
dakwah menggunakan organisasi
dakwah sebagai pelaku
dakwahnya.
b. Ekonomi, social,
dan budaya
Ekonomi,
social, dan budaya
berfungsikan sebagai penunjang
langkah dakwah agar
para pelakukan dakwah
dapat tetap eksis
di tengah kehidupan
yang hangar bingar
ini, yang sebagiannya
telah mengagungkan materi.
c. Iklim yang
menunjang
Iklim
yang menunjang di
dalam negeri maupun
di luar negeri
menjadi suatu kondisi
yang dapat diperhitungkan dalam
mengoperasionalkan agenda komunikasi
dakwah. Dalam kondisi
damai, komunikasi dakwah
dapat berjalan dengan
lancar dan baik.
Namun kondisinya dalam
keadaan perang, jamaahnya
juga ikut ambil
bagian dalam mempertahankan negerinya
dari invasi militer
asing.
B.
Pembinaan Akhlak
Remaja
1. Pengertian
pembinaan
Pembinaan adalah
kata benda yang
akar katanya adalah
bina, yang kata kerjanya adalah
membina. Adapun membina
sendiri adalah memilihara,
mengembangkan dan menyempurnakan, sehingga pembinaan
dapat diartikan sebagai
hal atau cara
membina.Sedangkan menurut E. Mulyasa dan Zakiah Daradjat sebagai berikut:
a) E. Mulyasa mengatakan: Pembina adalah hal atau cara membina, memperbaiki,
menjaga, dan meningkatkan kinerja.[37]
b) Zakiah Daradjat bahwa, pembinaan adalah upaya pendidikan baik formal maupun
non formal yang dilaksanakan secara terarah, teratur dan bertanggung jawab dalam
rangka memperkenalkan, menumbuhkan, mengembangkan suatu dasar kepribadian yang
seimbang utuh dan selaras, pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan bakat,
keinginan serta prakarsa sendiri menambah, meningkatkan dengan mengembangkan ke
arah terciptanya martabat; mutu dan kemampuan manusia yang optimal dan pribadi
yang mandiri.[38]Jadi yang dimaksud dengan pembinaan adalah
mempertahankan sesuatu yang sudah baik dan berusaha untuk mengembangkannya.
Membangun kesadaran bagi generasi bukanlah hal yang gampang untuk tercapai
secara maksimal, tetapi dalam membina kesadaran yang menjadi hal pokok untuk
dibangun. Kesadaran hendaknya disertai niat untuk mengintensifkan pemilikan
nilai-nilai dari pada yang sudah dimiliki, sebab dengan cara tersebut akan
mampu mewujudkan pemeliharaan yang dinamis dan berkesinambungan.[39]
Membina harus
berwujud suatu konstruksi yang utuh dan
hakiki di atas kedalam suatu tatanan nilai yang dilakukannya setiap saat, yaitu
pemeliharaan dan dinamisasi. Dinamisasi dimaksudkan agar tatanan nilai tidak
hanya berbentuk satu substansi searah
akan menciptakan suatu pekerjaan yang tidak bermanfaat, bahkan sia-sia belaka,
sebab tidak ada tatanan yang mendukungnya dari aspek lain.
Dalam hal ini
membina dimaksudkan adalah
membina keagamaan yang
mempunyai sasaran pada
generasi muda, maka
tentu aspek yang
ingin dicapai dalam
hal ini adalah
sasaran kejiwaan setiap
individu, sehingga boleh
dikatakan bahwa pencapaiannya
adalah memiliki ciri
khas dan keunikan
tersendiri. Keunikan dimaksudkan
tidak karena ditentukan
prototipitas tema pembahasannya, melainkan
disebabkan karena sasaran
yang diambil merupakan
suatu pengelompokkan demografis
yang gencar-gencarnya mengalami
perubahan dan perkembangan
psikologi kejiwaan anak.[40]
Membina yang bercorak keagamaan atau keislaman akan selalu bertumpu pada
dua aspek, yaitu aspek spiritualnya dan aspek materialnya. Aspek spiritual
ditekankan pada pembentukan kondisi batiniah yang mampu mewujudkan suatu
ketentraman dan kedamaian di dalamnya.
Dan dari
sinilah memunculkan kesadaran
untuk mencari nilai-nilai
yang mulia dan
bermartabat yang harus
dimilikinya sebagai bekal
hidup dan harus mampu
dilakukan dan dikembangkan
dalam kehidupan sehari-harinya saat
ini untuk menyongsong
kehidupan kelak, kesadaran
diri dari seorang
remaja sangat dibutuhkan
untuk mampu menangkap
dan menerima nilai-nilai
spiritual tersebut, tanpa
adanya paksaan dan
intervensi dari luar
dirinya.[41]
Sedangkan pada pencapaian
aspek materialnya ditekankan
pada kegiatan kongkrit
yaitu berupa pengarah
diri melalui kegiatan
yang bermanfaat, seperti
organisasi, olahraga, sanggar
seni dan lain-lainnya.
Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat
dimaksudkan agar mampu
berjiwa besar dalam
membangun diri dari
dalam batinnya, sehingga
dengan kegiatan tersebut,
maka tentu dia
akan mampu memiliki
semangat dan kepekatan
yang tinggi dalam
kehidupannya.[42]
Mengenai keterikatan pembina keislaman didasarkan pada lokasi dan daerah
tertentu, tentu merupakan tantangan tersendiri dalam melakukanpembinaan, sebab membina tersebut akan menemukan beberapa kendala. Namun aspek
membinanya akan lebih terfokus dan terarah, bahkan akan memberikan ciri dan
corak membina tersendiri.
2. Pengertian
remaja
Kata
remaja digunakan untuk
menyebutkan masa peralihan
dari masa anak
dengan masa dewasa,
ada yang memberi
istilah puberty (Inggris), puberteit
(Belanda), adolescere(Latin),
kata bendanya, adolescentia yang berarti
remaja yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi dewasa”.[43]
Dalam
Islam, secara etomologi, kalimat remaja berasal darimurahaqoh, kata kerjanya adalah raahaqoyang
berartial-iqtirab(dekat). Secara terminologi, berarti mendekati
kematangan secara fisik, akal, dan jiwa serta sosialnya. Permulaanadolescencetidak
berarti telah sempurnanya kematangan, karena dihadapan adolescence, dari 7-10 ada tahun-tahun untuk menyempurnakan
kematangan.
Ada yang berpendapat bahwa remaja merupakan
kelompok yang biasa saja, tiada berbeda dengan kelompok manusia yang lain, ada
yang berpendapat bahwa remaja adalah kelompok orang-orang yang
seringmenyusahkan orang-orang tua. Ada pula yang berpendapat bahwa remaja merupakan potensi
manusia yang perlu dimanfaatkan. Akan tetapi, manakala remaja diminta
persepsinya, mereka akan berpendapat lain.[44]
3. Pengertian
akhlak
Kata
akhlak berasal dari
bahasa arab yaitu
Al-Khulk yang
berarti tabeat,
perangai, tingkah laku,
kebiasaan, kelakuan. Menurut
istilahnya, akhlak ialah sifat yang
tertanam di dalam
diri seorang manusia
yang bisa mengeluarkan
sesuatu dengan senang
dan mudah tanpa adanya
suatu pemikiran dan
paksaan.[45] Dalam
KBBI, akhlak berarti budi
pekerti atau kelakuan. Sedangkan menurut para ahli,
pengertian akhlak adalah
sebagai berikut:
a) Ibnu
Maskawaih, Menurutnya akhlak
ialah “hal linnafsi
daa’iyatun lahaa ila
af’aaliha min ghoiri
fikrin walaa ruwiyatin” yaitu
sifat yang tertanam
dalam jiwa seseorang
yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
b) Abu Hamid Al Ghazali: Akhlak ialah sifat yang terpatri dalam jiwa
manusia yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan senang
dan mudah tanpa memikirkan dirinya serta tanpa adanya renungan terlebih dahulu.
c) Ahmad bin Mushthafa:
akhlak merupakan sebuah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis
keutamaan, dimana keutamaan itu ialah terwujudnya keseimbangan antara tiga
kekuatan yakni kekuatan berpikir, marah dan syahwat atau nafsu.
d) Muhammad bin Ali Asy Syariif Al Jurjani: akhlak merupakan sesuatu yang sifatnya (baik
atau buruk) tertanam kuat dalam diri manusia yang darinyalah terlahir
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan tanpa berpikir dan direnungkan.
Dari beberapa definisi yang disebutkan oleh beberapa
pakar diatas, maka kiranya definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
yang disebut akhlak itu ialah: kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan
dengan mudah karena kebiasaan, tanpa memerlukan pertimbangan pikiran lebih
dulu.
Selanjutnya menurut Abdullah Dirroz, perbuatan-perbuatan
manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua
syarat, yaitu : Pertama ,
perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama,
sehingga menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena
dorongan emosi jiwanya, sehari-hari, ”akhlak”“kesusilaan” atau sopan santun bukan karena adanya tekanan-tekanan yang datang dari
luar seperti paksaan dari orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau
bujukan dengan harapan-harapan yang indah-indah, dan lain sebagainya.[46]
4. Factor-faktor
yang mempengaruhi akhlak remaja
Akhlak
mempunyai obyek yang
luas karena berkaitan
dengan perbuatan dan
tingkah laku manusia,
yang setiap perbuatan
dan tingkah kita
sering kali melihat
remaja terombang-ambing dalam
gejolak emosi yang
tidak terkuasai itu,
yang kadang-kadang membawa
pengaruh terhadap kesehatan
jasmaninya.
Ada
beberapa faktor yang
mempengaruhi terhadap pembentukan
mental remaja yaitu:
a) Faktor Intren
Masalah penting yang
dihadapi oleh anak-anak
yang sedang berada
dalam umur remaja
cukup banyak. Yang
paling kelihatan adalah
pertumbuhan jasmani yang
cepat. Perubahan yang
cepat inilah yang
terjadi pada fisik
remaja yang berdampak
pula pada sikap
dan perhatiannya terhadap
dirinya. Ia menuntut
agar orang dewasa
memperlakukannya tidak lagi
seperti kanak-kanak. Sementara
itu, ia merasa
belum mampu mandiri
dan masih memerlukan
bantuan orang tua
untuk membiayai keperluan
hidupnya.
Keadaan emosinya yang
goncang sering kali
diungkapkan dengan cara
yang tajam dan
sungguh-sungguh. Kadang ia
mudah meledak-ledak dan mudah
tersinggung. Padahal, mungkin
tanpa disadarinya, ia
mudah menyinggung perasaan
orang tuanya. Sementara
itu ia juga
mengalami perasaan aneh,
ia mulai tertarik
kepada teman lawan
jenis. Akan
tetapi, karena perkembangan
tubuhnya kurang menarik,
timbul juga perasaan
malu. Akibatnya, dalam
dirinya bergejolak perasaan
galau yang tidak
menentu.
b) Faktor Ekstern
Masa remaja yang
mengalami banyak perubahan
yang terjadi pada
umur remaja awal
itu, sudah pasti
membawa kepada kegoncangan
emosi. Kadang-kadang hal
tersebut ditambah pula
dengan banyaknya contoh
yang tidak baik,
tetapi membangkitkan berbagai
berbagai dorongan dan
keinginan yang mulai
timbul dalam dirinya.
Apalagi dizaman abad
ke-21 ini kemajuan
ilmu pengetahuan dan
teknologi benar-benar memukau
dan membuat manusia
terseret untuk ikut
tenggelam dan berkecimpung
di dunia yang
transparan tanpa rahasia.
Manusia dihadapkan pada
perubahan cepat dalam
berbagai dimensi kehidupan,
terbawa oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang setiap saat
menawarkan sesuatu yang lebih
baru, lebih canggih
dan lebih menyilaukan
mata.
Adapun berbagai hal
yang disajikan oleh
teknologi yang semakin
canggih seperti media
elektronik dan media
cetak, yang mudah
ditangkap oleh remaja.
Mungkin saja semua
itu akan dijadikan
oleh remaja sebagai
alat identifikasi diri,
sehingga mereka condong
menerima dan menirunya.
Seolah-olah diri mereka
yang melakukan dan
memerankan adegan yang
disaksikanya itu.
Disini letak bahaya dan
ancaman terhadap kehidupan
beragama para remaja
yang sedang mulai
mekar, yang sedang
menatap hari depan
yang diharapkan dan
dicita-citakannya. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi
pada dasarnya baik
dan berguna bagi
kemajuan bangsa. Tetapi
kemajuan iptek itu
telah ditumpangi dan
disalah gunakan oleh
sebagiaan manusia yang
serakah yang tidak
beragama, atau yang
kehidupanya ditentukan oleh
hawa nafsu dan
bujukan setan.
Secara tidak terasa,
kaum muda Indonesia
terbawa oleh arus
yang sering didengar
dan disaksikan dalam
acara acara kebudayaan
yang ditayangkan oleh
media elektronik, baik
berupa tayangan lagu-lagu,
film, olah raga
dan lainya. Apa
yang dilihatnya jauh
lebih besar pengaruhnya
dan lebih lama
teringat olehnya, dan
akan sering terbayang
di ruang matanya.
Dan yang paling
banyak menjadi korban
adalah remaja, baik
yang bersekolah maupun
yang sudah bekerja.
Betapa beraninya mereka
meminum minuman yangmemabukkan dan kemudian
memperkosa teman perempuanya.
Ada juga wanita
yang dengan senang
hati berbuat serong
dengan teman yang
dicintainya.
c) Faktor Lingkungan
Apabila kita memperhatikan
remaja yang sedang
mengalami kegoncangan emosi,
angan-anganya banyak. Khayalan
tentang yang terlarang
dalam agama mulai
muncul, akibat pertumbuhan
jasmaninya yang mendekati
ukuran orang dewasa,
sedangkan kemampuan mengendalikan
diri lemah. Akibatnya
terjadi kegoncangan emosi,
walaupun kemampuan pikir
telah matang.
Karena itu remaja
yang sedang dalam
gejolak pertumbuhan (13-21 tahun), yang
kurang terlatih dalam
nilai moral dan
agama, mudah terseret
kepada mengagumi dan
meniru apa yang
menyenangkan dan menggiurkanya. Perbuatan
salah, perilaku menyimpang,
ketidakpuasan terhadap orang
tua, dan mungkin pula
melakukan hal-hal terlarang
dalam agama dan
hukum negara, merupakan
menunya sehari-hari.
Sesungguhnya penyimpangan sikap
dan perilaku anak
dan remaja tidak
terjadi tiba-tiba, akan
tetapi melalui proses
panjang yang mendahuluinya. Disamping
itu berbagai faktor
ikut berperan dalam
peristiwa tersebut. Diantara
faktor-faktor yang timbul
dari dalam diri
anak atau remaja
misalnya keterbelakangan kecerdasan,
kegoncangan emosi akibat
tekanan perasaan (frustasi), kehilangan
rasa kasih sayang
atau merasa dibenci,
diremehkan, diancam, dihina
dan sebagainya. Semua
perasaan negatif tersebut
dapat menyebabkan seseorang
putus asa, bersikap
negatif terhadap orang
lain, bahkan mungkin
juga sikap negatifnya
dihadapkan kepada Allah.
Maka ia condong
menentang ajaran agama,
meremehkan nilai-nilai moral
dan akhlak. Sikapnya
boleh jadi akan
mempengaruhi atau mewarnai
seluruh penampilan perilakunya,
air muka yang
tegang, benci dan
menentang setiap orang
yang berkuasa, merasa
iri dan dengki
kepada orang yang
melebihi dirinya, bahkan
kebencian diarahkan pula
kepada tokoh masyarakat,
pemuka agama dan
pemerintah.
Ada juga faktor
negatif yang datang
dari keluarga, misalnya
orang tua tidak
rukun, sering bertengkar
dihadapan anak, ada
pula orang tua
yang melibatkan anak
dalam perselisihan mereka,
sehingga si anak
terombang-ambing diantara ibu
dan bapaknya. Ada
juga yang disebabkan
oleh perlakuan tidak
adil dari pihak
orang tua terhadap
anak-anak, dan dia
termasuk yang kalah
bersaing dalam memperebutkan
perhatian dan kasih
sayang orang tuanya.[47]
[1] Asep Syamsul M. Romli. op. cit. Hlm.6
[2] Ibid
[3] Pror. Deddy Mulyana, M.A., Rh.D. Ilmu
komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Cet.14. 2010.
hlm.68
[4] Wahyu
Ilaihi, M.A. Komunikasi dakwah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
cet.1. 2010. hlm.7
[5] Asep Syamsul M. Romli. op. cit. hlm.7
[6]
http://commsciencegroup4.blogspot.co.id/2012/10/teori-komunikasi-lasswell.html?m=1
[7] Wahyu Ilaihi, M.A, op. cit. hlm.1
[8] Ibid. hlm.4
[9] Drs. Samsul Munir Amin, M.A. Ilmu Dakwah. Jakarta:
Amzah. cet.1. 2009. hlm.1
[10] Warson Munawwir.Kamus Al-Munawwir,
Surabaya: Pustaka Progressif. 1994. hlm 439
[11] Wahyu Ilaihi, M.A.op. cit. hlm.4
[12] Ghizali Darussalam. DInamika Ilmu Dakwah
Islamiyah. Malaysia: Nurniaga SDN. BHD. cet.1. 1996. hlm.5
[13] Abdul Kadir Sayid Abd. Rauf. Dirasah Fid
Dakwah al-Islamiyah. Kairo: Dar El-Tiba’ah al-Mahmadiyah, cet.1. 1987.
hlm.10
[14] Prof. Toha Yahya Omar, M.A. Ilmu Dakwah. Jakarta:
Wijaya. 1979. hlm.1
[15] Prof. H.M. Arifin M.Ed. Psikologi dakwah
Suatu PengantarStudi. Jakarta: Bumi Aksara. cet.5. 2000. hlm6
[16] Ibnu Taimiyah. Majmu Al-Fatawa.juz 15.
Riyadh: Mathabi Ar-Riyadh. 1985. hlm.185
[17] DR. Bambang Saiful Ma’arif. Komunikasi
Dakwah Paradigma untuk Aksi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. cet.1. 2010.
Hlm.34
[18] Ibid
[19] DR. Bambang Saiful Ma’arif. op. cit. hlm.38
[20] Ibid
[21] Ibid. hlm.39
[22] Fathul Bahri An-Nabiry. Meniti Jalan
Dakwah. Jakarta: Amzah. cet.1. 2008. hlm.134
[23] Imam ‘Abdu ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz. Dakwah
Kejalan Allah dan Akhlak Seorang Da’I. Homepage : http://dear.to/abusalma. 2007.
Hlm.50
[24] DR. Bambang Saiful Ma’arif. op. cit. hlm.41
[25] Abdul Karim Zaidan. Ushul al-Dakwah. Baghdad:
Mu’assasah al-Risalah. Cet.2. hlm.595
[26] M. Munir, S.Ag. Komunikasi Dakwah. Jakarta:
Kencana. Cet.1. 2003. Hlm.162
[27] DR. Bambang Saiful Ma’arif.op. cit. hlm.43
[28] Ishlahi. 1989. Op. cit. Hlm.75
[29] M. Munir, S.Ag. op. cit. Hlm.169
[30] Jalaludin Rahmat. Etika Komunikasi
Perspektif Religi. Makalah seminar. Jakarta. Perpustakaan Nasional. 18 mei
1996
[31] M. Munir, S.Ag. op. cit. Hlm.171
[32] Ibid. Hlm.172
[33] M. Arifin.Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Bumi Aksara. Cet. 1. 1991. Hlm. 61
[34] Drs. H. Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya. Cet.1. 1996. Hlm.35
[35] DR. Bambang Saiful Ma’arif. op. cit. hlm.52
[36] Ibid
[37] E. Mulyasa. Menjadi Kepala Sekolah
Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Cet.1. 2003. hlm.154
[38] Zakiah Deradjat. Kesehatan Mental dan
Keluarga. Jakarta: Pustaka Antara. cet.3. 1993. hlm.363
[39] Abdul Mujib. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Cet.1. 2001. Hlm.199.
[40] Zakiah Daradjat. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental. Jakarta: PT. Bulan
Bintang. Cet.IV.1982. hlm.44
[41]
Andi Mappiare.Psikologi Remaja. Surabaya
: Usaha Nasional. Cet.1. 1984. hlm.68
[43] Prof. Dra. Sri Rumini. dan Dra. Siti Sundari
H.S., M.Pd. Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
Cet.1. 2004. hlm.53
[45]http://www.spengetahuan.com/2015/05/pengertian-akhlak-dalam-islam-terlengkap.html
[47] Zakiyah Daradjat. Remaja Harapan Dan Tantangan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offisct. Cet.1. 1994. hlm.40-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar